NTMC – Hoegeng. Nama polisi itu tetap dikenang melalui sifat-sifat ketauladanannya. Kejujuran, tanpa pamrih, tegas, dan bijaksana mungkin bisa menjadi gambaran sosok seorang Hoegeng. Almarhum Presiden Gus Dur pun pernah ‘menyeleneh’ soal polisi jujur di Indonesia. Menurut Gus Dur polisi jujur di Indonesia adalah polisi tidur, patung polisi dan polisi Hoegeng. Tutur Gus Dur itu pun menjadi cibiran sekaligus jawaban untuk panutan bagi seorang anggota polisi.
Siapa Hoegeng? Sang Jendral Polisi Hoegeng dipercaya menjadi Kapolri pada 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971. Dengan waktu yang singkat ia mampu memberikan contoh keteladanan yang terus menjadi buah bibir masyarakat Indonesia pada umumnya, dan polisi khususnya. Berikut beberapa kisah teladan seorang Hoegeng yang patut ditiru, baik oleh masyarakat umum maupun anggota Polri.
Tiba Tepat Waktu dan Tak Segan Turun ke Jalan
Sikap teladan Kapolri Hoegeng terlihat bahkan sebelum ia menuju kantor. Sebelumnya ia berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapan anggotanya mengatur arus lalu lintas. Meski begitu, Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB.
Di situasi tertentu, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng tak segan untuk terjun langsung memastikan kehadiran para petugas polisi.
Di rumahnya, Hoegeng tak pernah menempatkan pos jaga. Hal itu dilakukan agar tidak ada jarak antara dirinya dan masyarakat. Rumah itulah yang selalu jadi ‘Mabes Polri 24 Jam’. Artinya Hoegeng siap melaksanakan tugas selama 24 jam.
Lebih Baik Hidup Melarat Daripada Korupsi
Keteneran sosok Hoegeng dikenal dan mulai menjadi buah bibir saat bertugas di Kota Medan. Di sana Hoegeng mengobrak-abrik bandar judi Medan. Dia juga membongkar suap-menyuap pada para polisi dan jaksa di Medan yang menjadi antek bandar judi.
Barang-barang mewah pemberian bandar judi dilemparnya ke luar jendela. Meniru Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ia berprinsip ‘lebih baik hidup melarat daripada menerima suap atau korupsi’.
Tanggal 15 Mei 1968, Presiden Soeharto melantik Komjen Hoegeng Imam Santosa menjadi Kapolri. Sebagai Kapolri, hidup Hoegeng jauh dari mewah. Hoegeng tak mau menerima suap satu sen pun. Bahkan, untuk menutupi kekurangannya sang istri rela berjualan bunga walau akhirnya disuruh berhenti oleh Hoegeng. Hoegeng takut profesi istrinya akan dijadikan celah orang-orang yang ingin menyuapnya.
Hoegeng bahkan tak punya mobil pribadi. Sehari-hari dia mengandalkan mobil dinas untuk memantau kondisi Jakarta. Jika jalanan macet, sang jenderal tak segan turun dari mobilnya dan mengatur lalu lintas bersama ajudannya.
Menolak Rayuan Pengusaha Cantik
Sejumlah lembaga survey selalu menyebut DPR, kantor pajak dan kepolisian sebagai lembaga yang rentan dengan suap-menyuap. Mulai dari uang, mobil, barang mewah, hingga wanita.
Godaan itu pun pernah mampir dalam kehidupan seorang Kapolri Hoegeng Imam Santosa. Dikisahkan ia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan. Hoegeng yang dikenal sangat gencar memerangi penyelundupan pun tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut atau apa pun tawarannya.
Sang wanita berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tanpa pikir panjang hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi sampai disitu, si wanita terus mendekati Hoegeng dengan berbagai cara.
Justru yang membuat Hoegeng heran, koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.
Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.
Hoegeng Tak Pernah Bisa Dibeli & Tak Mempan Disuap
Semasa menjabat, Kapolri Jenderal Hoegeng tak pernah sekedar memberi pesan atau imbauan. Ia sekaligus memberi contoh bagaimana menjadi polisi sejati. Ia pernah berpesan agar polisi tidak boleh menerima suap agar polisi itu tidak bisa dibeli.
Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya yang tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.
“Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” pernyataan Hoegeng yang pernah dipesankan kepada mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Buddarmo.
Sayangnya Polisi jujur ini dipensiunkan tiba-tiba sebelum berhasil membabat habis para koruptor dan mafia di Indonesia. Beredar rumor, pencopotan Hoegeng disebabkan keberaniannya yang mengusik keluarga Cendana.
Akhir Perjalanan Hoegeng Saat Membongkar Kasus Pemerkosaan Sum
Pada tanggal 21 September 1970, seorang wanita penjual telur ayam (18th) bernama Sumarijem yang sedang menunggu bus tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa pria. Sum dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para penculiknya.
Setelah itu Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Sum yang memilih melapor ke polisi justru dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Di hadapan wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya dengan berbagai ancaman.
Sidang perdana kasus Sum di Pengadilan Negeri Yogyakarta berlangsung tertutup untuk wartawan. Belakangan diketahui karena kasus tersebut melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh.
Singkat cerita, hakim menolak tuntutan jaksa yang menuntut Sum tiga bulan penjara dan satu tahun percobaan. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.
Kapolri Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Ia memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng saat itu.
Selanjutnya, Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus Sum melalui Tim Pemeriksa Sum Kuning, yang dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Seiring waktu, Presiden Soeharto sampai turun tangan untuk menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Tim pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa karena Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?
Pada akhirnya, dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Dan semuanya bukanlah anak pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai kasus Sum dijadikan alat untuk mempensiunkan Jendral Hoegeng sekaligus untuk menutup kasus ini.
Ya, pada akhirnya Presiden Soeharto memilih untuk mempensiunkan Hoegeng dari jabatannya sebagai Kapolri. Sebab, keberaniannya dianggap mengganggu kepentingan keluarga Cendana dan kroninya. Bahkan, usai pensiun, Soeharto berusaha menjauhkan Hoegeng dari publik. Jasa-jasanya seperti ingin dihapuskan. Hoegeng bahkan dilarang datang ke perayaan HUT Bhayangkari bertahun-tahun.
Namun, nama Hoegeng telah menjadi legenda. Walau dikubur dalam-dalam, teladannya tak akan pernah bisa dilupakan. Hoegeng menjabat 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971, hanya sebentar. Tapi teladan Hoegeng dikenang sepanjang masa.